'/> Pengertian Dan Dasar Aturan Jadwal Dukungan Iuran Jaminan Kesehatan

Info Populer 2022

Pengertian Dan Dasar Aturan Jadwal Dukungan Iuran Jaminan Kesehatan

Pengertian Dan Dasar Aturan Jadwal Dukungan Iuran Jaminan Kesehatan
Pengertian Dan Dasar Aturan Jadwal Dukungan Iuran Jaminan Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi setiap insan yang tidak sanggup dihapus dalam dirinya alasannya yakni hak kesehatan tersebut telah ada semenjak insan itu lahir dan harus dijaga keberlangsungannya tanpa adanya diskriminasi. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara, dan upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggungjawaban tiruana pihak baik pemerintah maupun masyarakat. 

Hal ini dipertegas oleh konstitusi Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 28H UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan : ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Mewujudkan amanat konstitusi tersebut, pemerintah Indonesia harus melaksanakan suatu jadwal jaminan kesehatan supaya hak kesehatan seluruh rakyat sanggup terjamin dan jadwal tersebut dilaksanakan dengan prinsip asuransi. Hal tersebut sesuai dengan perintah Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 perihal Sistem Jamainan Sosial Nasional (SJSN) yang menyatakan : “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang dimaksud dengan asuransi sosial yakni “Suatu prosedur pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memdiberikan proteksi atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”. Sedangkan prinsip ekuitas yakni pelayanan yang didapatkan sesuai dengan jumlah besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta.

Berkaitan dengan pengertian asuransi yang dikaitkan dengan aturan perdata Yusuf Shofie yang dikutip dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 perihal Usaha Perasuransian menyatakan bahwa : 
“Asuransi atau pertanggungan yakni perjanjian dua belah pihak atau ludang keringh, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dan mendapatkan premi asuransi, untuk memdiberikan penggantian kepada tertanggung alasannya yakni kerugian, kerusakan atau kehilangan laba yang diperlukan atau tanggung balasan aturan kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memdiberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidup seseorang yang dipertanggungkan”[1].
Dari pengertian asuransi dalam konsep perdata merupakan suatu perjanjian kedua belah pihak yang mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung untuk mengganti kerusakan yang dialami tertanggung sesuai dengan klim yang disepakati dan jumlah klim tersebut sifatnya luas sesuai kesepakatan. Sedangkan asuransi sosial merupakan pengumpulan dana yang didapat dari iuran peserta yang dibayarkan secara wajib guna memdiberikan pertanggungan dan sifat pertanggunganya hanya berada pada resiko sosial ekonomi. Masyarakat miskin yang tidak bisa membayar iurannya pemerintah wajib membayarkan iuran tersebut, ini sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Negara menyebarkan sistem jaminan sos\ial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak bisa sesuai dengan martabat kemanusiaan”. 

Masyarakat miskin yang dimaksud yakni fakir miskin dan orang tidak bisa dimana pemerintah wajib mendaftarkan mereka dalam jadwal jaminan kesehatan. Hal ini dipertegas oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang menyatakan :
1. Pemerintah secara sedikit demi sedikit mendaftarkan akseptor pemberian iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Penerima pemberian iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni fakir miskin dan orang tidak mampu.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur ludang keringh lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Menjalankan perintah Undang-Undang di atas maka pemerintah mengeluarkan jadwal Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, hal ini dimaksud supaya seluruh fakir miskin dan orang tidak bisa sanggup ikut serta dalam jadwal jaminan kesehatan dan menikmati pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

PBI (Penerima Bantuan Iuran) yakni peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak bisa sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayarkan pemerintah sebagai peserta jadwal Jaminan Kesehatan. Peserta PBI yakni fakir miskin dan orang tidak bisa yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah.

Badan Penyelenggara yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan yakni BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yaitu Badan aturan yang dibuat untuk menyelenggarakan jadwal jaminan kesehatan dan PT. ASKES yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi BPJS Kesehatan.

Untuk mensukseskan suatu jadwal yang akan diselenggarakan harus dilakukan perlu upaya-upaya yang strategis supaya apa yang menjadi tujuan jadwal tersebut sanggup tercapai. Upaya tersebut sanggup berupa kudang keringjakan-kudang keringjakan dari pemerintah. Menurut Commissie wetgevingsvraagstukken yang dikutip dari Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat dalam bukunya berjudul Hukum Administrasi Negara Dan Kudang keringjakan Pelayanan Publik yang menyatakan :
“Peraturan kudang keringjakan sebagai suatu peraturan umum perihal pengaplikasian wewenang pemerintahan terhadap warga negara (warga negara, juga organ pemerintah lainnya) ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atas instansi pemerintahan yang secara hirarki ludang keringh tinggi”[2].
Sejalan dengan diselenggarakannya jadwal pemberian iuran jaminan kesehatan yang dibayarkan oleh pemerintah, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu antara lain :
  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 perihal Sistem Jaminan Sosial Jaminan Kesehatan (SJSN)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 tetang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu
  4. Keputusan Menteri Sosial Nomor 147 Tahun 2013 perihal Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  5. Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 perihal Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, merupakan suatu peraturan yang mengatur secara khusus perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang mencakup Ketentuan Umum, Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu, Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendaftaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendanaan Iuran, hingga Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan ketentuan lainnya.

Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan fakir miskin yakni : “Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya”. 

Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan orang tidak bisa yakni : “Orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, honor atau upah, yang hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak bisa membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya”.

Untuk defenisi kemiskinan berdasarkan para pakar, Ritonga Harmonangan menyatakan bahwa : “Kemiskinan yakni kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan minimum yang layak bagi kehidupannya”[3].

Sedangkan berdasarkan Soemardjan Selo menyampaikan bahwa “Faktor-faktor penentu atau determinan kemiskinan sangat tergantung pada kemampuan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan sosialnya, yang sanggup dilihat dari penduduk atau keluarga tersebut”[4].

Penjelasan ludang keringh detilnya kebutuhan dasar yang dimaksud dilihat defenisi kemiskinan dari BPS dikutip dari Siti Internawati yang menyatakan bahwa :
“Kemiskinan yakni ketidak mampuan untuk memenuhi baku tertentu dari kebutuhan dasar kuliner setara dengan 2100 kalori perkapita perhari, ditambah skor pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan kuliner yang paling pokok. Dari pengertian kemiskinan tesebut maka sanggup dijelaskan semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proposisi makanannya sebaliknya semakin kaya semakin tinggi proposisi non makannya. Bila diasumsikan suatu rumahtangga mempunyai jumlah anggota rumahtangga (household) rata-rata 4 orang, maka batas kemiskinan rumahtangga adalah:
  1. Rumahtangga dikatakan sangat miskin apabila tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 × Rp. 120 ribu = Rp. 480 ribu per rumahtangga per bulan.
  2. Rumahtangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 × Rp. 150 ribu = Rp. 600 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 480 ribu.
  3. Rumahtangga dikatakan Mendekati Miskin apabila kemapuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 × Rp. 175 ribu = Rp. 700 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 600 ribu”.[5]
Dari pendapat di atas sanggup disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang atau rumahtangga mengalami kekurangan atau kesusahan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya berdasarkan baku kebutuhan dasar insan secara layak sehingga perlu dibantu oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan dasar tersebut temasuk kesehatan. 

Ketentuan di atas merupakan suatu pola supaya pada dikala registrasi fakir miskin dan orang bisa menjadi peserta jaminan kesehatan oleh pemerintah sanggup sempurna target sesuai dengan kriteria fakir miskin dan orang tidak bisa yang telah ditetapkan pemerintah. Kriterianya tersebut diatur oleh menteri yang didiberi kewenangan supaya menjadi panduan bagi forum dalam melaksanakan pendataan. 

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 101 Tahun 2012 perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, menyatakan jaminan kesehatan yakni : “Jaminan berupa proteksi kesehatan supaya peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan proteksi dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang didiberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. 

Berkaitan dengan pemberian iuran yang dibayarkan oleh pemerintah, pengeluaran biaya tersebut telah dianggarkan melalui APBN oleh pemerintah setiap tahunnya. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan yang dimaksud dengan Iuran yakni : “Sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemdiberi kerja, dan/atau pemerintah”. Pembayaran iuran dimaksud supaya peserta jaminan kesehatan tidak merasa terbebani atau jatuh miskin kadab mereka sakit alasannya yakni biaya pengobatan yang sangat mahal dan yang fakir miskin dan orang tidak bisa sanggup menikmati jadwal jaminan kesehatan sehingga kesehatannya sanggup terjamin”. 

Peserta dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan terdiri dari fakir miskin dan orang tidak bisa yang sudah teregister dan belum teregister. Menurut Diktum Kedua Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 perihal Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dikatakan fakir miskin dan orang tidak bisa yang teregister apabila rumah tangganya mempunyai kriteria sebagai diberikut :
  1. tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenui kebutuhan dasar.
  2. mempunyai pengeluaran sebagian besar dipakai untuk memenuhi konsumsi kuliner pokok dengan sangat sederhana
  3. tidak bisa atau mengalami kesusahan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah.
  4. tidak bisa membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga
  5. mempunyai kemempuan hanya menyekolahkan anaknya hingga jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
  6. mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tidak diplaster
  7. kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/kramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah
  8. atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kulitas rendah
  9. mempunyai penerangan bangunan daerah tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran
  10. luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m²/orang, dan
  11. mempunyai sumber mata air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/ air sungai/air hujan/lainnya.
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak bisa yang belum teregister berdasarkan Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 yakni yang terdapat dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial dan/atau di luar Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terdiri dari :
  1. Panti Asuhan
  2. Rumah Singgah
  3. Rumah Perlindungan Sosial Anak
  4. Lembaga Perlindungan Sosial Anak
  5. Tempat Penitipan Anak Miskin
  6. Balai Rehabilitas Sosial
  7. Rumah Perlindungan Dan Trauma Center, Atau
  8. Nama lain sejenisnya
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak bisa yang dimaksud Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 di atas yakni :
  1. gelandangan
  2. pengemis
  3. perseorangan dari Komunitas Adat Terpencil
  4. perempuan rawan sosial ekonomi
  5. korban tindak kekerasan
  6. masyarakat miskin akibad tragedi alam alam dan sosial pasca tanggap darurat hingga satu tahun sehabis musibah
  7. perseorangan akseptor manfaat Lembaga Sosial
  8. penghuni Rumah Tahanan
  9. penderita Thalassaemia Mayor
  10. penderita peristiwa Ikutan Paksaan Imunisasi (IPI)
Untuk berhasilnya Program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan harus dilakukan upaya-upaya strategis supaya penyelenggaraan jadwal tersebut berjalan dengan baik. Berkaitan dengan upaya strategis penyelenggaraan pemerintahaan Titik Triwulan Tutik menyatakn bahwa :
“Upaya yang sanggup dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yakni antara lain dengan mengakibattifkan pengawasan baik melaui pengawasan forum peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melaui forum lembaga ombusdman”.[6] .
Berkaitan dengan pentingnya pengawasan Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyampaikan bahwa : “Pengawasan yakni setiap perjuangan dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pengaplikasian kiprah yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan saran yang hendak dicapai”[7].
Pengawasan yang perlu dilakukan supaya jadwal pemerintah ini sanggup terselenggara dengan baik, maka perlu adanya pengawasan intern dan pengawasan ekstern instansi penyelenggara jadwal tersebut. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengartikan pengawasan intern dan pengawasan ekstern yakni :
“Pengawasan yang dilakukan oleh pegawanegeri dalam organisasi itu sendiri misalnya pucuk pimpinan dari forum atau organisasi tersebut tetapi biasanya pengawasan ini hanya dilakukan oleh pimpinan unit saja. Sedangkan pengawasan ekstern merupakan pengawasan yang dilakukan oleh organisasi dari luar dimana pengawasan ini dilakukan oleh forum atau instansi lain misalnya pengawasan dibidang keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)”[8].
Selain pengawasan intern dan ekstern dalam melaksanakan sebuah jadwal pemerintah perlu adanya juga suatu pengawasan melekat, Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir juga menyampaikan bahwa
“Pengawasan menempel yaitu berupa tindakan atau aktivitas atau perjuangan untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri oleh setiap pimpinan organisasi”[9].
Pengawasan menempel dilihat dari cara kerjanya maka, pengawasan timbul secara otomatis pada dikala sorang pejabat/petugas melaksanakan tindakan pada dikala melaksanakan tugasnya sehingga daya kerja pengawasan menempel ini sanggup mencegah kesalahan dan kecurangan terjadi.

Pengawasan yang dilakukan supaya target akseptor pemberian iuran jaminan kesehatan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013.tentang Penetapan Dan Pendataan Kriteria Fakir Miskin Dan Orang Tidak Mampu.

Pengawasan ini dilakukan oleh menteri sehabis berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan forum terkait. jikalau ditemukan keabsurdan maka Menteri Sosial sanggup melaksanakan perubahan data akseptor pemberian iuran tersebut.
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menyatakan :
1.    Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan dengan:
a.    penghapusan data fakir miskin dan orang tidak bisa yang tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan alasannya yakni tidak lagi memenuhi kriteria; dan
b.    penambahan data fakir miskin dan orang tidak bisa untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan alasannya yakni memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu.
Perubahan data tersebut dilakukan dengan pembuktian dan validasi kambali data akseptor pemberian iuran jaminan kesehatan setiap 6 (enam) bulan dalam tahun anggaran berjalan yang dilakukan oleh Dinas Sosial yang berada di Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Menurut Kamus Hukum verifakasi yakni : “Pemeriksaan, penelitian, untuk meneliti kebenaran suatu hal”[10]. Sedangkan pengertian validasi dalam Kamus Hukum menyatakan yakni : “Pernyataan perihal sahnya sesuatu”[11]. Jadi, pembuktian dan validasi data yang dilakukan ini untuk mengkaji kembali kelayakan dari peserta akseptor pemberian iuran jaminan kesehatan sehabis 6 (bulan) dalam anggaran setiap tahunnya.
Pasal 1 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 perihal Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang dimaksud dengan menteri yakni : “Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan menteri dan/atau pimpinan forum terkait berdasarkan klarifikasi Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan : “Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, dalam negeri, dan pimpinan forum yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melaksanakan pendataan”.
Perubahaan data akseptor pemberian iuran jaminan kesehatan  ini dilakukan untuk melihat masih layak atau tidaknya fakir miskin dan orang tidak bisa mendapatkan pemberian iuran tersebut dan jikalau ditemukan tidak layak lagi maka mereka ikut jaminan kesehatan dengan membayar iuran sendiri.



[1] Yusuf Shofie, “Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya” PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000, h. 157
                [2] Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara Dan Kudang keringjakan Pelayanan Publik, NUANSA, Bandung, 2009. h. 156
                [3] Ritonga Harmonangan, Perhitungan Penduduk Miskin, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, 2003. h.1
                [4] Soemarjan Selo, Menyusun Liku-liku Pendataan Keluarga , BKKBN, Jakarta, 2003. h. 29
                [5] Siti Internawati, ”Studi Pelaksanaan Pendataan Keluarga Miskin Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Desa Danau Redan Kecamatan Teluk Pandan” eJournal Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda, 2013. h. 312
[6] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010, h. 212
[7] Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat,Rineka Cipta, Jakarta, 1994. h.21
                [8] Ibid, h. 28-29
                [9] Ibid, h. 71
                [10] J.C.T. Simorangkir et.Al, Kamus Hukum, cet., XIV, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. h. 176
[11] Ibid, h.175
Advertisement

Iklan Sidebar