'/> Pembagian Aturan Islam

Info Populer 2022

Pembagian Aturan Islam

Pembagian Aturan Islam
Pembagian Aturan Islam
 Ulama ushul fiqh membagi aturan Islam menjadi dua pembagian yaitu aturan al-taklifi dan wadh’i.

      A. Hukum Taklifi

            Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif lantaran titah ini pribadi mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hokum islam yakni setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang asing / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak sanggup dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.

            Menurut Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan) lantaran yang dimaksud dengan taklif itu yakni beban kepada orang yang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan berdasarkan jumhur ulama hokum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan aturan yang lima sebagai diberikut.

a.   Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, menyerupai firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai diberikut.

   “ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kau mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).

b.   Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa proposal untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak menerima bahaya dosa menyerupai firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai diberikut.

      “ Hai orang-orang yang diberiman, apabila kau bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kau menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).

c.  Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarangnya, lantaran itu ia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia telah mengingkari tuntutan Allah, lantaran itu patut mendapatkan bahaya dosa, menyerupai firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai diberikut.

  “ …Janganlah kau menyampaikan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kau menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).

d.   Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, lantaran itu ia berhak menerima ganjaran pahala. Tetapi lantaran tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak sanggup disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan bahaya dosa menyerupai sabda Nabi SAW. Berikut ini.
      “Dari Ibnu Umar, biar Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah yakni Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).

e.  Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memdiberikan titah kemungkinan untuk menentukan antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan ia tidak didiberi ganjaran dan tidak pula bahaya atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dihentikan berbuat, lantaran itu apabila ia melaksanakan perbuatan itu ia tidak diancam dan tidak didiberi ganjaran menyerupai firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai diberikut.
      “Talak (yang sanggup rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).

Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang didiberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.

B.     Hukum Wadh’i

            Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu diberikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan berdasarkan Al-Amidi tujuh macam yaitu diberikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).

1.   Sabab, yaitu titah yang memutuskan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , menyerupai firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya sebagai diberikut.
      “Dirikanlah shalat setelah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).

2.   Syarath, yaitu titah yang mengambarkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu menyerupai sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai diberikut.

      “Sesungguhnya Allah tidak mendapatkan shalat salah seorang di antara kau apabila ia berhadas sampai berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).

            Shalat tidak sanggup dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat lantaran berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Makara suatu hokum taklifi tidak sanggup dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh alasannya yakni itu berwudhu ( suci ) merupakan syarat sahnya shalat.

3.   Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang konkret keberadaannya menjadikan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai diberikut.

      “ Apabila tiba haid kau tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
            Dari contoh-contoh di atas terang keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.

4.   Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu dikerjakan bila ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada alasannya yakni penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada penghalang (mani’) menyerupai haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya yakni sah.

5.   Bathil, yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akhir hokum yang ditimbulkannya, menyerupai batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, lantaran minuman keras itu tidak berskor harta dalam ketentuan aturan syara’.

            Adapun mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam pengaplikasian hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pengaplikasian hokum taklifi berdasarkan buktii umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, menyerupai haramnya bangkai untuk umat Islam.

            Rukhsah, yaitu dispensasi atau pengaplikasian hokum taklifi berdasarkan bukti yang khusus sebagai pengecualian dari bukti yang umum lantaran keadaan tertentu menyerupai boleh memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
Advertisement

Iklan Sidebar